kubet indonesia – Viral Pernikahan Anak di Lombok, Psikolog Ungkap 3 Risiko Pernikahan di Bawah Umur

Posted :

by :

Pengantin berusia di bawah umur yang videonya viral di media sosial, saat ditemui di rumahnya di Lombok Tengah, NTB.

Lihat Foto

Pernikahan anak di Lombok antara YL (15) dan RN (16) mendapat sorotan banyak pihak, setelah videonya viral di media sosial.

Menurut keterangan Kepala Desa Beraim, Kecamatan Praya Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Januarsa Atmaja, tiga pekan sebelum video ini viral, kedua remaja tersebut telah menikah (merariq).

Namun, mereka sempat dipisahkan oleh kepala dusun (kadus) setempat karena keduanya masih di bawah umur.

“Jadi kadus setempat melerai, artinya masih di bawah umur enggak boleh menikah, akhirnya anak ini dipisah oleh kepala dusun, baik yang di Beraim (tempat tinggal laki-laki) maupun di Mujur (tempat tinggal perempuan),” ujarnya, dikutip dari Kompas.com.

Meskipun begitu, setelah dipisahkan, keduanya kembali dinikahkan dengan tradisi merariq — cara kawin lari ala Sasak Lombok.

Selain itu, digelar juga arak-arakan Nyongkolan yang meriah, seakan yang terjadi adalah pernikahan normal.

Kasus ini menimbulkan kontra karena kedua mempelai masih berada di bawah usia legal.

Risiko Pernikahan di Bawah Umur

Psikolog anak Gloria Siagian M, menjelaskan bahwa pernikahan dini dapat menimbulkan risiko yang perlu menjadi perhatian.

Berikut tiga risiko pernikahan di bawah umur menurut Gloria.

1. Ketidaksiapan emosional

Anak yang menikah di bawah umur belum memiliki kematangan emosional yang cukup untuk membina rumah tangga.

Mereka cenderung hanya berfokus pada diri sendiri karena identitasnya masih utuh.

“Fokusnya juga masih ke diri sendiri, identitasnya belum utuh jadi mudah terbawa emosi,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com pada Senin (26/5/2025).

2. Tidak bisa membuat keputusan

Anak di bawah umur juga belum bisa membuat keputusan besar secara mandiri, termasuk keputusan untuk menikah.

Gloria menjelaskan, proses berpikir anak masih dangkal dan cenderung dipengaruhi oleh emosi.

Hal ini membuat mereka belum mampu mempertimbangkan risiko jangka panjang dari keputusan yang diambil.

“Ada banyak keputusan yang harus dipikirkan dan diputuskan, padahal proses berpikirnya masih dangkal,” jelasnya.

3. Belum bisa memegang tanggung jawab

Anak yang berumur di bawah 17 tahun belum bisa memegang tanggung jawab yang besar.

Jika dipaksakan menjalani pernikahan, anak cenderung merasa tertekan dalam menghadapi peran barunya.

“Anak di bawah umur 17 tahun juga belum bisa memegang beban tanggung jawab pernikahan,” kata Gloria.

 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *