
PHK) yang terjadi di berbagai sektor perusahaan di Indonesia.
Hal ini tentu membuat banyak orang merasa kecewa sekaligus bingung, bagaimana melanjutkan hidupnya, terlebih jika mereka menjadi tulang punggung keluarga.
Setelah mengabdi selama kurang lebih 25 tahun, tak pernah terbesit di benak Supriyadi (54) bahwa dirinya akan berhenti mengemban tugasnya sebagai staf administrasi di salah satu lembaga riset di Jakarta Pusat.
Pekerjaan yang dicintainya itu kini menjadi bagian dari kenangan manis di ingatannya. Jatuh bangun kehidupan setelah PHK ia rasakan hingga menemukan peluang baru.
Puluhan tahun mengabdi berujung pada pahitnya PHK
Ketika masih bekerja, Pri, sapaan akrabnya, harus menempuh Depok-Jakarta Pusat dengan jarak yang jauh, yaitu 27 kilometer untuk sampai di tempat kerjanya.
Rutinitas itu telah ia lalui selama puluhan tahun. Ia bergabung ke lembaga tempatnya bekerja sejak tahun 1999, setelah Indonesia dilanda krisis moneter.
Bahkan ia bergabung sejak lembaga tersebut belum diresmikan alias masih dalam rancangan.
Puluhan tahun ia bertahan, Pri mengaku sangat nyaman dengan budaya dan nilai-nilai yang ditanamkan di tempat kerjanya. Meski lelah dan ragam rintangan menghadang, ia pun tidak menyerah begitu saja.
“Saya sudah merasa seperti membesarkan lembaga itu, pasti ada rasa memiliki yang sangat besar. Berbeda dengan karyawan baru kerja yang belum merasakan nilai kekeluargaan dan kenangannya,” jelas Pri kepada Kompas.com saat ditemui di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/4/2025).
Namun, semuanya berubah sejak September 2024 lalu. Ia mendapat kabar bahwa kondisi finansial lembaga sedang tidak baik-baik saja, terlebih setelah pandemi Covid-19 dan kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Kondisi tersebut terpaksa membuat perusahaan memutus kerja 14 orang karyawan, termasuk Pri. Sebelumnya, kurang lebih 6 orang sudah lebih dulu di-PHK.
Meski dia dan beberapa rekannya sudah melalui berbagai proses negosiasi, tetapi tidak mengubah keputusan tersebut. Akhirnya per tanggal 1 November 2024 lalu, ia tak lagi bekerja di lembaga tersebut.
“Perasaannya shock pasti, terpaksa kami harus resign karena keadaan. Sedih banget, bertanya-tanya, kenapa bisa begini? Apa yang salah ya?” ujar Pri.
“Sempat terlintas menyayangkan keputusan lembaga, tapi ya sudahlah, saya harus bangkit dan enggak merenungi terus,” tambahnya.
Lantas, apa boleh buat? Laki-laki asal Kebumen itu tidak bisa berbuat banyak selain menerima keputusan yang ada dan terus melanjutkan hidup. Apalagi, dia menjadi kepala keluarga yang masih harus membiayai keluarga kecilnya.

Leave a Reply