
childfree sering menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Topik ini kembali mencuat setelah penyanyi Stephanie Poetri disebut-sebut memilih untuk menjalani kehidupan tanpa anak, sebagaimana disampaikan oleh ibunya, Titi DJ.
Psikolog keluarga Sukmadiarti Perangin-angin, M.Psi., menegaskan bahwa childfree merupakan keputusan yang diambil secara personal oleh seseorang dan pasangan. Menurutnya, kondisi mental dan emosional turut memengaruhinya.
“Pastinya ada poin positifnya. Kalau tidak, dia tidak akan memilih itu,” ujar Sukmadiarti kepada Kompas.com, Rabu (2/7/2025).
Dampak positif childfree
Menurut Sukmadiarti, keputusan childfree bisa menjadi cara seseorang melindungi dirinya dari tekanan mental dan risiko pola asuh yang tidak siap. Dalam banyak kasus, keputusan ini lahir dari kesadaran akan kondisi psikologis pribadi.
“Mungkin karena dia tahu belum siap secara mental. Maka, dia memilih menunda dulu atau tidak dulu punya anak,” jelasnya.
Keputusan ini juga bisa memberi ruang bagi pasangan untuk fokus membangun relasi yang sehat, tanpa tekanan eksternal dari tuntutan menjadi orangtua.
Dampak negatif childfree
Di sisi lain, Sukmadiarti mengingatkan bahwa keputusan childfree juga bisa menjadi bentuk penghindaran akibat luka batin atau trauma masa lalu.
Misalnya, seseorang yang tumbuh dalam keluarga penuh konflik atau merasa diabaikan saat kecil, bisa mengalami ketakutan untuk mengulang pola tersebut kepada anaknya.
“Ada ketakutan, misalnya takut menyakiti anak, takut pernikahannya gagal dan berdampak ke anak, atau merasa tidak mampu menjadi orangtua yang baik. Itu semua manusiawi,” katanya.
Namun menurut Sukmadiarti, jika tidak disadari dan ditangani, keputusan childfree yang dilandasi luka emosional bisa menimbulkan penyesalan atau perasaan bersalah di kemudian hari.
Keputusan bisa berubah seiring kematangan emosional
Sukmadiarti menekankan bahwa keputusan childfree tidak selalu bersifat permanen. Dalam psikologi, kepribadian dan kondisi emosional seseorang bersifat dinamis dan dapat berkembang seiring waktu, pengalaman, dan proses penyembuhan.
“Seiring waktu, kalau dia mau belajar dan pulih, pilihan itu bisa saja berubah,” ujarnya.
Ia mendorong siapa pun yang sedang bergulat dengan keraguan besar tentang memiliki anak untuk terbuka pada proses konseling dan refleksi diri.
Menurut Sukmadiarti, proses penyembuhan dari ketakutan atau pengalaman masa lalu bisa dilakukan secara bertahap, termasuk dengan mempertimbangkan bantuan profesional jika dirasa perlu.
Leave a Reply