
pernikahan anak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), belum lama ini disorot oleh media dan warganet.
Video ini menyoroti YL (15), siswi kelas 1 SMP, dan RN (16), remaja putus sekolah, yang melangsungkan pernikahan pada 5 Mei 2025 meski tidak dilakukan secara hukum negara.
Sebelumnya, mereka telah menikah (merariq), tetapi dipisahkan oleh kepala dusun setempat karena mereka masih di bawah umur.
Jarak tiga minggu setelah mereka dipisahkan, keduanya kembali menikah dengan cara memariq atau kawin lari menurut tradisi suku Sasak Lombok.
YL dibawa RN ke Sumbawa selama dua hari dua malam, kemudian dikembalikan ke Lombok.
Saat kepala dusun memberitahu orangtua YL, mereka tidak mau anaknya dikembalikan dan membiarkan anaknya menikah.
Menanggapi kejadian itu, Psikolog anak Gloria Siagian M menjelaskan bahwa pernikahan di bawah umur dapat menyebabkan anak depresi.
Bahkan, pernikahan dini bisa menyebabkan mereka kehilangan identitasnya.
“Pernikahan dini bisa sebabkan depresi dan kehilangan identitas,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com pada Senin (26/5/2025).
Ia menjelaskan, ketika anak melakukan pernikahan dini, mereka akan kehilangan masa bermain.
Waktu yang semestinya digunakan untuk mengeksplorasi diri terpaksa terkubur karena terikat oleh pernikahan.
Hal tersebut membuat mereka mempertanyakan identitas mereka sendiri.
“Ketika kehilangan masa bermain, hangout, kehilangan masa di mana dia harusnya eksplorasi diri sendiri, identitas dirinya belum kuat, hal itu berpengaruh ke macam-macam,” jelasnya.
Tidak Siap Menghadapi Tantangan Pernikahan
Pasangan yang menikah dini juga belum memiliki banyak pengalaman, sehingga belum siap untuk menghadapi tantangan pernikahan, apalagi menyangkut anak.
Ketidaksiapan mereka dapat memengaruhi kondisi mental mereka, bahkan menimbulkan gangguan mental.
Leave a Reply